Abstract:
Era globalisasi saat ini, mengelola bangsa yang besar seperti Indonesia tentu bukan merupakan hal yang mudah. Globalisasi menjadi bagian dari tantangan yang bersifat eksternal, bahkan ancaman yang datang dari berbagai budaya dan suku yang bersifat internal. Perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu penyebab terjadi dengan cepatnya perubahan masyarakat sebuah bangsa. teknologi informasi menjadi terbuka dan bahkan terkesan telah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat saat ini sehingga masyarakat yang belum memiliki kemampuan teknologi informasi dinilai belum mengikuti globalisasi. Tentu saja globalisasi melalui teknologi informasi juga memberikan hal-hal yang positif tapi ada beberapa hal negatif. Masyarakat dan bahkan bangsa Indonesia harus dapat melakukan filter terhadap pertumbuhan teknologi informasi sehingga tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Misalnya, gambar yang masuk dalam kategori pornografi yang mudah diakses untuk menjadi ancaman serius dari generasi muda.
Description:
Presiden RI telah meminta para menteri dan kepala daerah mempercepat inventarisasi karya anak bangsa untuk segera dipatenkan HAKI-nya. Para pengrajin di berbagai daerah, Presiden meminta memasukan nama daerah dan Indonesia pada karyanya dan para pejabat mempermudah prosesnya. Kita harus open, peduli mencantumkan sebagai karya kita.”
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden RI pada saat munculnya Iklan Tari Pendet pada acara Discovery Channel bertajuk “Enigmatic Malaysia” dan semoga pernyataan Presiden PRESIDEN RI tentang budaya nasional tidak hanya pada saat terjadinya klaim-klaim budaya dari negara lain.
Ada bebarapa hal penting yang harus menjadi perhatian pemerintah (pusat dan daerah), termasuk juga masyarakat secara umum dalam upaya pelestarian budaya nasional pada saat era globalisasi ini antara lain yaitu :
1. Perlunya evaluasi pada peran dan fungsi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada Era Kabinet Indonesia Bersatu I dan II. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata harus lebih berperan sebagai lembaga yang bisa “menjual” dan “mendatangkan” keuntungan bagi negara dengan mengembangkan dan melestarikannya. Kalaupun budaya nasional tersebut ditata sedemikian rupa, hanyalah dalam rangka untuk memperoleh income dari negara-negara luar. Bukan income sebagai efek atau manfaat dari upaya pelestarian dan pengembangan budaya nasional itu sendiri. Kata pariwisata menjadi kata yang bermakna “dijual” agar memperoleh income sebanyak-banyaknya bahkan kalau boleh semua unsur budaya nasional harus bisa mendatangkan income bagi negara. Semestinya yang menjadi prioritas negara adalah melakukan upaya-upaya pelestarian dan pengembangan budaya-budaya nasional dengan sebaik-baiknya. Sehingga menjadi lestari, menarik dan disenangi orang yang selanjutnya akan menjadi “pemancing” bagi masyarakat dan turis asing untuk melihat dan menikmati keindahaannya, barulah income terjadi. Jangan dibalik bahwa untuk memperleh income maka pariwisata harus ditata dan dikembangkan. Ini berarti niatnya kurang tepat. Yang benar adalah mari kita tata dan kembangkan budaya nasional dengan baik, dengan sendirinya income akan datang. Sebagai contoh di kota-kota besar telah banyak cagar budaya yang tidak dirawat dengan baik dengan alasan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak memiliki dana. Akhirnya lokasi-lokasi tersebut diubah bahkan diganti dengan bangunan mall atau pusat perbelanjaan. Ini artinya pemerintah tidak memiliki niat yang besar untuk melestarikan budaya nasional. Oleh karena itu, penulis lebih setuju bila kebudayaan menjadi satu departemen dengan pendidikan, karena dalam “kebudayaan” ada unsur pendidikan bahkan dapat menjadi media yang harus dilestarikan oleh generasi muda sebagai penerus bangsa sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, bukan malah kebudayaan hanya “dikomersilkan” saja seperti yang terjadi saat ini.
2. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memperhatikan upaya pelastarian budaya nasional. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak boleh hanya memprioritaskan pada bidang politik dan ekonomi saja. Tetapi juga pada bidang budaya, karena budaya adalah bagian dari kehidupan masyarakat karakter bangsa yang perlu memperoleh perhatian. Pemerintah harus menyediakan kecukupan dana untuk pelestarian budaya walaupun pemerintah punya banyak utang.
Maka, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu bekerjasama dengan pihak swasta terutama perusahaan besar untuk menjadi binaan dan tanggung jawab agar budaya nasional dapat dilestarikan dan dikembangkan.
3. Generasi muda bangsa Indonesia harus mempunyai rasa kebanggan terhadap budaya nasional. Generasi muda harus bisa menampilkan budaya nasional pada setiap moment, bukan sebaliknya menjadi generasi muda yang tidak jelas identitasnya bahkan banyak yang mengikuti budaya-budaya asing supaya dikatakan gaul, termasuk korban globalisasi. Era globalisasi yang didukung dengan teknologi internet mestinya dimanfaatkan sebagai media pelestarian budaya nasional dengan cara mempublikasikan atau bahkan “mendokumentasikan” pada dunia tentang keanekaragaman budaya nasional bangsa Indonesia. Sehingga, masyarakat dari bangsa lain dapat membaca, mengetahui dan mengenal budaya-budaya nasional Indonesia. Jangan sebaliknya, generasi muda Indonesia justru menjadi korban dari negara-negara maju akibat publikasi budaya yang menyebar bahkan dapat “meracuni” generasi muda karena ketidakmampuan melakukan “filterisasi” berbagai “budaya” negara maju tersebut.
4. Budaya nasional yang terdapat pada masing-masing pemerintah daerah yang merupakan ciri khas daerah seharusnya wajib dipatenkan oleh pemerintah daerah. Sehingga tidak dibebankan pada masyarakat dan menjadi milik pemerintah daerah atas nama masyarakat, karena budaya nasional tidak boleh dimiliki hak patennya oleh satu orang saja tapi milik semua masyarakat yang ada di daerah tersebut. Seperti Tari Reog harus dipatenkan oleh pemerintah daerah Ponorogo dan menjadi milik masyarakat Ponorogo dan Tari Pendet harus dipatenkan oleh pemerintah daerah Bali atas nama masyarakat Bali. Budaya nasional yang terkait dengan Suku Dayak di Kalimantan dapat menjadi masalah bilamana tidak segera diperhatikan, karena di Malaysia juga terdapat Suku Dayak yang berbatasan dengan Kalimantan Timur dan wilayah Sabah Malaysia Timur dan Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak Malaysia Timur. Paling tidak pemerintah daerah menjadikan budaya nasional sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan pemerintah daerah pada hari-hari tertentu sebagai suatu upaya pelestarian budaya Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Demikian juga budaya Melayu yang terdapat di Riau, Pekan Baru yang sangat mirip dengan budaya Melayu yang berbatasan dengan Johor dan Pulau Pinang Malaysia Barat. Festival-festival budaya perlu dilaksanakan dalam rangka melestarikan budaya nasional tersebut sehingga tidak lagi di klaim sebagai budaya Malaysia saja.
Budaya Nasional merupakan aset Bangsa Indonesia yang harus memperoleh perhatian terutama di era Globalisasi saat ini. Budaya nasional menjadi bagian penting negara Indonesia yang dapat dikembangankan dan dikelola sebaik-baiknya. Itu penting agar dapat berfungsi lebih luas tidak hanya sekadar warisan ataupun adat istiadat masyarakat Indonesia yang dirayakan ataupun dilaksanakan pada saat peringatan hari Sumpah Pemuda atau hari Pahlawan saja. Budaya nasional harus menjadi bagian dari aset Bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya perlu ada suatu kesadaran secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.